Apakah Anda pernah berdoa dan merasa tidak didengar? Apakah Anda pernah merasa ditinggalkan, sendirian, dan kesepian? Dalam Perjanjian Lama, Nabi Habakuk pernah mengalami perasaan seperti itu saat dia mendoakan umat Yehuda. Dia merasa berjuang sendiri dan TUHAN diam saja, tidak menjawab doanya. Pemazmur juga mengalami perasaan yang sama: Dia merasa sangat menderita, kesepian, dan ditinggalkan Tuhan. Perasaan itu lalu dia ungkapkan dalam bentuk doa.
Mazmur 88 ditulis oleh Heman orang Ezrahi, penyanyi keturunan Kehat dari suku Lewi (1 Tawarikh 6:33). Kemungkinan, ia termasuk orang bijaksana yang kebijaksanaannya di bawah Salomo (1Raja-raja 4:31). Berbeda dengan mazmur ratapan lain yang biasanya berakhir dengan harapan atau pujian, klimaks mazmur ini bukan penghiburan. Dari awal hingga akhir, mazmur ini diwarnai nada kelam dan putus asa. Mazmur ini merupakan doa pribadi dalam penderitaan ekstrem, baik secara fisik maupun emosional. Pemazmur bukan hanya merasa ditinggalkan TUHAN, tetapi juga ditinggalkan orang-orang di sekitarnya (88:9,14,19), bahkan ia hampir tidak punya pengharapan. Ia memandang TUHAN sebagai penyebab penderitaan (88:4-10), dan berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya (88:10-11). Di tengah situasi seperti itu, dia berdoa dan mencari TUHAN, termasuk saat TUHAN terasa jauh.
Mazmur ini mengungkapkan kondisi jiwa yang hampir tidak punya pengharapan—bukan karena dosa, tetapi karena penderitaan yang tak kunjung reda. Tidak ada ungkapan seperti "Tetapi aku percaya ...." yang menunjuk pada akhir yang bahagia Hanya ada kegelapan, tangisan, dan pertanyaan. Namun, saat kegelapan tak kunjung sirna, pemazmur berseru kepada Tuhan. Dia tidak berpura-pura kuat dan tidak mencari jawaban yang cepat, namun ia menemui TUHAN dengan luka yang ternganga, doa tanpa suara, dan hati yang kosong. Sering kali, kita harus menunggu sampai hati kita tenang sebelum kita bisa datang kepada Tuhan. Namun mazmur ini membalikkan logika seperti itu. Di tengah kekacauan, kita diundang untuk datang bukan untuk mencari solusi cepat, tetapi untuk jujur di hadirat-Nya. Tuhan tidak alergi terhadap air mata. Tuhan tidak menutup telinga terhadap seruan kita. Bahkan, saat kita merasa bahwa Dia diam, ternyata telinga-Nya tetap tertuju kepada seruan kita. Iman yang sejati bukan hanya percaya ketika terang bersinar, tetapi tetap berseru bahkan ketika yang menjawab hanya keheningan. Pernahkah Anda memiliki perasaan seperti pemazmur dalam mazmur ini, yaitu merasa bahwa Tuhan mengabaikan doa Anda? Apa yang akan Anda lakukan saat Anda hampir kehilangan pengharapan? Apa arti "iman" bagi Anda, ketika jawaban Tuhan terasa lama datangnya?