Rasul Paulus melayani secara tulus, tetapi ia juga melayani secara cerdik. Dia berkata kepada anggota-anggota Mahkamah Agama, Saudara-saudara, sampai hari ini aku tetap hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah. (23:1b). Dia tidak bersandiwara! Apa yang ia katakan berasal dari hatinya. Dia berani menerima risiko atas apa yang telah ia katakan dan apa yang telah ia lakukan. Sekalipun demikian, Rasul Paulus tidak mau bertindak bodoh atau asal-asalan. Dia tidak takut terhadap ancaman atau hukuman, tetapi dia akan berusaha meminimalkan risiko atau kerugian yang ia alami. Saat akan disiksa tanpa diadili, dia mencegah tindakan itu dengan mengakui bahwa dirinya adalah warga negara Romawi yang harus diperlakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Pengakuan tersebut membuat para prajurit Romawi tidak berani bertindak sembarangan. Saat berhadapan dengan Mahkamah Agama, dia dengan terus terang mengakui bahwa dia adalah keturunan orang Farisi dan pemahamannya tentang masalah kebangkitan sama dengan pemahaman orang Farisi. Pengakuan ini membuat sebagian orang Farisi yang merupakan anggota Mahkamah Agama berhenti menyerang, dan malah mulai ada yang membela Rasul Paulus. Rasul Paulus seperti mematuhi nasihat Tuhan Yesus, "hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. " (Matius 10:16b). Ketulusan Rasul Paulus membuat ia tidak menghindar dari misi yang Allah berikan kepadanya. Kecerdikan membuat ia tidak membiarkan dirinya diperlakukan dengan semena-mena oleh orang-orang yang memusuhi dirinya.
Kita harus selalu menjaga keseimbangan antara ketulusan dan kecerdikan. Kita harus menjaga agar ketulusan kita tidak membuat kita bertindak bodoh, tetapi kita juga harus menjaga agar kecerdikan kita tidak membuat kita kehilangan ketulusan. Kita harus cerdik, tetapi kita tidak boleh memakai cara-cara duniawi yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan. Umat Kristen di Indonesia sangat perlu memperhatikan perlunya keseimbangan di antara ketulusan dan kecerdikan ini. Bila kita tidak memiliki ketulusan untuk melayani, kita akan memilih untuk tidak melayani. Bila kita tidak menggunakan akal untuk melayani dengan cerdik, kita akan terus-menerus menghadapi masalah yang seharusnya tidak perlu muncul. Apakah Anda sadar bahwa Allah menghendaki agar Anda mempersembahkan waktu, uang, tenaga, bahkan seluruh diri Anda untuk melayani Dia? Apakah Anda selama ini telah melayani dengan ketulusan hati? Apakah selama ini Anda telah menggunakan seluruh potensi dan akal budi Anda untuk melayani dengan seefektif mungkin sesuai dengan kemampuan dan kemampuan yang Allah berikan kepada diri Anda?