Pemimpin yang berhikmat adalah pemimpin yang menyadari batas kekuasaannya serta mengakui kedaulatan TUHAN dalam menjalankan kepemimpinan. Amsal 16 berusaha menampilkan perbedaan kualitas kekuasaan antara manusia dan TUHAN, serta pengaruhnya terhadap cara berpikir, sikap hidup, dan perbuatan nyata. Pernyataan bahwa manusia mampu membuat berbagai pertimbangan, tetapi jawaban berasal dari TUHAN (16:1), disusul dengan kumpulan nasihat untuk hidup mengikuti rencana TUHAN (16:2-8). Pernyataan bahwa manusia memiliki berbagai ide pemikiran, tetapi TUHAN-lah yang menentukan arah tujuan (16:9), disusul dengan kumpulan nasihat untuk memimpin menurut hikmat TUHAN (16:10-32), dengan kesimpulan bahwa sekalipun manusia membuang undi untuk menentukan "nasib", tetapi sesungguhnya kedaulatan dan kehendak TUHAN-lah yang terjadi (16:33).
Puncak kebijakan manusia adalah mengakui TUHAN sebagai yang berdaulat dalam merencanakan, mengambil keputusan, dan mengarahkan umat-Nya agar senantiasa melakukan kehendak-Nya. Hanya orang yang rendah hati yang dapat menerima kenyataan ini. Kerendahhatian membawa seorang kepada kesadaran untuk menyerahkan semua rencana dan segala upayanya kepada TUHAN (16:3). Seorang yang berserah kepada TUHAN menilai kesuksesan dan kebahagiaan hidup menurut ukuran Tuhan. Keberhasilan dalam dunia bisnis harus disertai kebenaran dan keadilan (16:8). Posisi jabatan karier kukuh karena menegakkan prinsip kebenaran (16:12). Menilai dan mengejar hikmat dan pengertian lebih berharga daripada emas dan perak (16:16,19,22). Sikap berserah kepada TUHAN adalah respons yang bijaksana dari seorang yang mengakui kedaulatan TUHAN (16:33).
Sebagai Mesias dan pemimpin, Kristus sadar bahwa Dia bukan sosok pemimpin seperti yang murid-murid—dan orang banyak—harapkan (Matius 16:13-20). Kristus menyatakan Diri-Nya sebagai pemimpin yang "memikirkan apa yang dipikirkan Allah" (Markus 8:33). Dia memberi beberapa tip tentang cara hidup mengikuti kehendak Allah Bapa, yaitu dengan menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Dia (Markus 8:34). Saat Anda memutuskan untuk "berserah" kepada Tuhan, amatilah apakah Anda benar-benar tulus memikirkan kehendak Allah—yaitu melakukan kebenaran dan keadilan yang dinyatakan dalam Alkitab—dan bukan terpaksa karena Anda sudah putus asa? Renungkanlah hal apa saja yang menghalangi Anda menerima kedaulatan Allah dan belajarlah menyerahkan agenda Anda kepada Allah! Ingatlah kembali: Apa dan kapan terakhir kali Anda mengalami kuasa penyertaan Allah yang terjadi di luar batas kemampuan Anda?