Di zaman now ini, banyak orang mengalami krisis identitas. Harga atau nilai diri mereka ditentukan oleh seberapa banyak like yang dilambangkan oleh ikon jempol atau hati pada tampilan akun Facebook dan Instagram mereka. Tidak jarang pula mood (suasana hati) mereka ditentukan oleh comment (komentar) dari orang-orang iseng yang memang bertujuan membangkitkan kegelisahan dengan komentar yang bernada sinis, kasar, dan menyerang. Tidak mengherankan bila banyak orang berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik dirinya (terkadang berusaha menjadi orang lain yang populer) dengan cara menebar informasi (topeng) pribadi, seakan-akan seluruh dunia perlu mengetahui kemana ia pergi, apa yang ia makan, bahkan terkadang catatan refleksi rohani di blog seseorang dilandasi oleh motif yang keliru. Komentar orang lain yang bersifat positif tidaklah membangun bila kita tempatkan sebagai fondasi bagi harga diri kita.
Sebelum Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya, terdengar suara dari sorga, "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." (1:11). Tuhan Yesus tak perlu melakukan apa pun untuk mendapat perkenan dari Allah Bapa. Ia menyadari betul jati diri-Nya. Tak ada seorang pun atau apa pun yang dapat membuat Dia meragukan penerimaan Bapa yang penuh terhadap diri-Nya. Perkenan Allah Bapa itu cukup. Sebagai orang yang telah ditebus oleh darah Tuhan Yesus dan mengingat betapa tidak layaknya kita yang merupakan seteru Allah saat Tuhan Yesus mati bagi kita (Roma 5:8-10), apakah Anda masih menambatkan nilai diri Anda pada sesuatu yang jauh kurang berharga dibandingkan penerimaan Tuhan Yesus yang tanpa syarat itu? [MN]
"Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." Markus 1:11b