Walaupun Yakobus dan Yohanes baru saja mendengar perkataan Tuhan Yesus tentang penderitaan yang akan Ia alami—diolok-olok, diludahi, dicambuk, dan dibunuh—mereka tidak benar-benar memahami maknanya. Alih-alih berdukacita atau menunjukkan empati, mereka malah meminta tempat terhormat, yaitu duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus dalam kemuliaan-Nya. Di benak mereka, Tuhan Yesus adalah Raja yang akan segera menaklukkan Yerusalem, seperti raja-raja Israel kuno yang gagah perkasa. Mereka ingin mendapat posisi istimewa. Murid-murid lain yang mendengar hal ini menjadi marah. Kemungkinan besar, mereka marah karena mereka juga menginginkan posisi tinggi. Mungkin, mereka bukan baru sekali ini bertengkar soal siapa yang terbesar di antara mereka. Kemudian, Tuhan Yesus memanggil mereka semua dan mengajarkan prinsip yang berbeda dengan prinsip dunia: Dalam Kerajaan Allah, orang yang ingin menjadi terbesar harus bersikap seperti hamba yang melayani semua orang lain. Ukuran kemuliaan dalam Kerajaan Allah bukan besarnya kekuasaan atau kehormatan, tetapi kerendahhatian dan semangat untuk mengutamakan orang lain.
Tuhan Yesus bersabda, "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (10:45). Ia membuat orang lain merasa dihargai, dikasihi, dan berarti. Banyak lagu rohani Kristen yang mengungkapkan kebenaran ini, misalnya dalam lirik: "Siapakah aku ini, Tuhan... jadi biji mata-Mu." Tuhan Yesus mengangkat kita yang hina dan menjadikan kita berharga di mata-Nya, bukan karena kita telah berjasa, tetapi karena Ia mengasihi kita. Di rumahnya, Albert Einstein menggantung foto seorang ilmuwan terkenal sebagai simbol dari ambisinya untuk menjadi besar dan dikenang. Namun, seiring waktu, Einstein mengganti foto itu dengan gambar Mahatma Gandhi (pejuang kemerdekaan India) dan Albert Schweitzer (misionaris di Afrika). Ia mulai menyadari bahwa hidup yang paling bermakna adalah hidup yang diberikan bagi orang lain.
Perayaan Natal tahun ini mengingatkan kita bahwa Tuhan Yesus adalah teladan tertinggi yang bukan hanya mengajar, tetapi menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Ia membuat kita yang berdosa merasa berharga. Dalam kasih dan pengorbanan-Nya, kita mempelajari arti menjadi besar di mata Allah, yaitu menjadi hamba bagi sesama. Apakah Anda lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kepentingan sesama? Dengan mengingat bahwa Tuhan Yesus—Raja segala raja—telah rela merendahkan diri-Nya untuk melayani manusia, apakah Anda bersedia mengesampingkan kepentingan pribadi demi melayani orang lain?