Mungkinkah orang hidup di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam? Secara logika manusia, kisah Yunus ini sulit diterima. Namun, tidak ada yang mustahil bagi Allah. Kisah Yunus adalah sebuah kisah nyata, bukan dongeng. Yesus Kristus memberi kesaksian atas kesejarahan kisah ini ketika Ia mengajarkan bahwa peristiwa Yunus tinggal di dalam perut ikan adalah tanda bagi kematian dan kebangkitan-Nya pada hari ketiga (Matius 12:40).
Kitab Yunus lebih dari sekadar cerita Yunus tinggal di dalam perut ikan. Terdapat tiga pelajaran utama yang menjadi pedoman kehidupan rohani segala zaman. Pertama, kitab ini memperkenalkan Allah yang pengasih dan penyayang. Alkitab mengajarkan bahwa bangsa Israel adalah umat pilihan Allah. Namun, kasih Allah tidak terbatas kepada bangsa Israel saja, tetapi juga kepada segala bangsa di atas bumi. Allah memberkati Israel supaya Israel menjadi saluran berkat bagi segala bangsa. Bagi bangsa Israel, penduduk Niniwe bukan hanya bangsa asing, tetapi juga musuh besar mereka. Namun, Allah justru mengutus Yunus untuk mengabarkan kasih-Nya supaya mereka bertobat. Kedua, kitab ini mengajarkan makna pelayanan. Dalam anugerah-Nya, Allah memilih Yunus untuk menjadi pekabar kebenaran Allah. Namun, Yunus justru tidak menghargai pilihan ini melalui dua tindakan yang tidak terpuji, yaitu saat ia melarikan diri dari panggilan Allah serta saat ia marah dan kesal setelah penduduk Niniwe bertobat. Meskipun demikian, Allah tetap memberkati Yunus dan pelayanannya sehingga menjadi berkat bagi penduduk Niniwe. Ketiga, kitab ini mengajarkan pentingnya memanfaatkan kesempatan untuk bertobat. Penduduk Niniwe sebenarnya sudah berada di ambang malapetaka karena hukuman Allah atas dosa mereka. Namun, mereka terluput karena merespons kepada peringatan Yunus dengan pertobatan. Dalam kerendahhatian, mereka berkabung karena dosa mereka, berpuasa untuk menyucikan hati mereka, dan bertobat untuk kembali ke jalan yang benar.
Dengan mempelajari kitab ini, kita diingatkan kembali akan kasih Allah yang tidak terbatas. Ia memilih dan mengasihi kita yang sebenarnya tidak layak dikasihi dan memberi kesempatan kepada kita untuk melayani-Nya. Perilaku Yunus yang tidak terpuji menjadi peringatan bagi kita untuk merespons panggilan pelayanan dengan hati yang bersyukur dan memberikan pelayanan terbaik. Dalam anugerah-Nya, Allah akan memakai pelayanan kita untuk memuliakan nama-Nya dan menjadi berkat bagi banyak orang. Selamat belajar! [Pdt. Timotius Fu]
Kitab Yunus dimulai dengan memperkenalkan Yunus sebagai anak Amitai. Hal ini mengindikasikan bahwa kisah ini adalah kisah nyata, bukan dongeng. Pasal 1 berisi kisah pelarian Yunus dari panggilan Allah, dan berakhir dengan pembuangan ke laut dan ditelan oleh ikan besar.
Kisah pelarian Yunus mengungkapkan dua pelajaran rohani. Pertama, pemahaman kepada kehendak Allah menjadi tidak bermakna jika tidak disertai dengan ketaatan. Setelah menerima perintah dari Allah, Yunus justru melarikan diri ke Tarsis untuk menjauh dari hadapan Allah (1:2-3). Sebagai seorang nabi, Yunus memahami kebenaran Allah. Ia tahu bahwa lari dari hadapan Allah berarti meninggalkan sumber kebahagiaan dan berkat. Lagi pula, manusia tidak mungkin lari dari Allah. Ironisnya, ia justru menunjukkan ketidaktaatan dengan usaha kerasnya untuk melarikan diri ke Tarsis. Ia berangkat ke Yafo, memilih kapal, membeli tiket, naik ke kapal dan bersembunyi di ruang terbawah (1:5). Pemahaman Yunus akan kebenaran Allah menjadi tidak berarti ketika ia memilih untuk tidak menaatinya. Kedua, kasih Allah lebih besar daripada ketidaktaatan manusia. Setelah Yunus melarikan diri, Allah bertindak dan mengembalikannya kepada tugasnya. Allah menimbulkan badai, campur tangan dalam pengundian sehingga Yunus dibuang ke laut, dan mengutus ikan besar untuk menelannya. Yunus harus membayar harga atas ketidaktaatannya dengan tinggal di dalam perut ikan selama tiga hari. Sungguh ironis, sebuah panggilan mulia yang seharusnya dijalankan dengan penuh sukacita harus dijalankan dengan cara yang menimbulkan sengsara.
Pengalaman Yunus mengingatkan kita bahwa ketaatan kepada kehendak Allah lebih penting daripada sekadar memahaminya. Namun, untuk dapat taat kepada kehendak Allah, seorang percaya harus terlebih dahulu memahaminya. Apakah Anda rindu memanfaatkan semua sarana untuk memahami kehendak Allah? Jika Anda tidak berusaha memahami kehendak Allah, bagaimana Anda dapat menaatinya? Salah satu penghalang kita untuk menaati kehendak Allah adalah sifat kedagingan. Karena itu, kita perlu bersandar kepada kuasa Roh Kudus yang mampu mengalahkan kedagingan dalam diri kita dan menolong kita hidup dalam ketaatan. Kiranya Allah menolong kita menjadi umat-Nya yang tidak hanya haus dan lapar akan kebenaran-Nya, tetapi juga berusaha sekuat tenaga untuk menaati kehendak-Nya.[Pdt. Timotius Fu]