Dua pasal ini adalah jawaban Ayub kepada Bildad. Awalnya, Ayub menyetujui Bildad bahwa jika orang berdosa bertobat, Allah akan mengampuni dan memulihkan keadaannya (9:2a). Namun, persetujuan itu melahirkan dua dilema pada Ayub yang membuatnya lebih menderita. Pertama, Ayub sadar bahwa ia tak berdosa, namun kenyataannya, ia sangat menderita. Karena itu, ia berseru dalam kepasrahan, "Aku tidak bersalah! Aku tidak pedulikan diriku, aku tidak hiraukan hidupku!" (9:21). Kedua, pengenalan Ayub akan Allah membuatnya makin tidak memahami penderitaannya. Bagi Ayub, Allah itu mahakuasa dan mengendalikan alam semesta, baik bumi maupun bintang-bintang di langit (9:4-11), sehingga ia tak mungkin melawan-Nya (9:3). Allah mahaadil sehingga keputusan pengadilan-Nya dan hukuman yang dijatuhkan-Nya adalah mutlak, tak bisa dibantah siapa pun juga (9:12-20), apalagi oleh Ayub yang menyadari kefanaan dan kelemahan dirinya (9:22-35). Di tengah ketidakpahaman akan penderitaannya, yang dapat Ayub lakukan adalah mendekat kepada Allah dan mengajukan tiga permohonan untuk mengurangi penderitaannya, yakni agar Allah memberitahu alasan penderitaannya (10:1-7), mengingat bahwa ia hanya manusia fana yang terbuat dari tanah liat (10:8-17), dan mengizinkan ia meninggalkan dunia ini (10:18-22).
Pengalaman Ayub merupakan pengalaman banyak orang Kristen saat ini. Banyak orang percaya mengalami penderitaan berat, misalnya: bisnis gagal, sakit, relasi dengan anggota keluarga atau rekan kerja bermasalah, ekonomi sulit, dan sebagainya. Di tengah penderitaan, apa yang harus kita lakukan? Kita tak boleh seperti orang tak beriman yang menyalahkan Allah dan menjauhi-Nya. Sebaliknya, penderitaan harus membuat kita mendekatkan diri kepada Allah. [TF]
"Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu." Yakobus 4:8a